Petisi Brawijaya Media – Kejaksaan Agung mengungkap skandal penjualan solar murah oleh PT Pertamina (Persero) kepada 73 konsumen industri yang diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 9,415 triliun. Fakta ini terungkap dalam sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang melibatkan sejumlah pejabat dan pengusaha besar.
Dalam dakwaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut bahwa PT Pertamina pada periode 2018-2021 dan PT Pertamina Patra Niaga pada periode 2021-2023 memberikan harga di bawah harga jual terendah (bottom price) atas penjualan solar non subsidi kepada pembeli swasta tertentu.
Praktik ini melibatkan perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di sektor pertambangan, manufaktur, dan logistik.
Tidak hanya menjual di bawah harga jual terendah, Pertamina juga disebut menjual di bawah harga pokok penjualan (HPP) dan harga dasar solar bersubsidi.
Selain menjual solar di bawah harga jual, jaksa menemukan adanya pelanggaran lain yang dilakukan Pertamina. Yakni; tidak menyusun dan menetapkan pocket margin selama periode 2018 – 2019, tidak menyusun dan menetapkan pedoman yang mengatur mengenai proses negosiasi harga, serta menyetujui hasil negosiasi tanpa mempertimbangkan harga jual terendah.
Pertamina juga dituding tidak melakukan evaluasi secara periodik atas harga penjualan kepada setiap pelanggan, meskipun secara nyata harga penjualan kepada pelanggan di bawah harga jual terendah bahkan di bawah HPP dan harga dasar solar bersubsidi.
Soal penjualan solar murah ini juga termuat dalam dakwaan mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Jaksa menyebut Riva Siahaan menyetujui usulan harga jual BBM Solar/Biosolar kepada konsumen industri yang tidak mempertimbangkan Bottom Price (nilai jual terendah) dan tingkat profitabilitas sebagaimana diatur dalam Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) No. A02-001/PNC200000/2022-S9.
“Terdakwa Riva Siahaan menandatangani kontrak perjanjian jual beli solar/biosolar kepada pembeli swasta dengan harga jual di bawah harga jual terendah yang pada akhirnya memberikan kerugian PT PPN,” kata Jaksa saat membacakan surat dakwaannya, Kamis, 9 Oktober 2025.
Jaksa juga menilai terdakwa Riva Siahaan tidak menyusun dan menetapkan pedoman yang mengatur mengenai proses negosiasi harga sebagaimana Surat Keputusan Direktur Utama No. Kpts-034/PNA000000/2022-S0 tanggal 10 Oktober 2022.
Akibat perbuatannya, terjadi kerugian keuangan negara dalam pengadaan impor BBM yaitu sebesar US$ 5,74 juta dan Rp 2,54 triliun dalam penjualan solar non subsidi selama periode tahun 2021-2023.
Disis lain, salah satu terdakwa utama dalam kasus ini, yakni Muhammad Kerry Adrianto Riza, yang merupakan anak dari pengusaha minyak Riza Chalid. Jaksa menyebut Kerry sebagai salah satu penerima manfaat dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam transaksi solar murah. Jaksa mendakwa Kerry memperkaya diri hingga Rp 3,07 triliun.
Jaksa juga mengungkap bahwa sebagian dana hasil korupsi yang dilakukan Kerry juga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk kegiatan rekreasi seperti bermain Golf di Thailand.
“Terdakwa Muhamad Kerry Adrianto Riza dan Gading Ramadhan Joedo (Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak) menggunakan uang sebesar Rp 176,39 miliar yang berasal dari pembayaran sewa Terminal BBM Merak untuk kegiatan golf di Thailand,” kata JPU membacakan dakwaannya pada sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakarta Pusat, Senin, 13 Oktober 2025.
Riza Chalid merupakan beneficial owners PT Tanki Merak dan PT Orbit Terminal Merak. Ia bersama anaknya melalui Gading Ramadhan Joedo, selaku Direktur PT Tangki Merak mendesak PT Pertamina menyewa terminal BBM (TBBM) milik PT Olitangking Merak agar bisa diakuisisi dan dijadikan jaminan kredit ke bank oleh Riza Chalid.
“Meskipun kerjasama sewa TBBM dengan pihak PT OTM tidak memenuhi kriteria pengadaan yang dapat dilakukan Penunjukan Langsung,” tulis dakwaan Jaksa yang dibacakan, Senin, 13 Oktober 2025.
Total kerugian negara dari seluruh rangkaian praktik ini diperkirakan mencapai Rp 285 triliun, termasuk dari kegiatan impor BBM dan pengelolaan kilang yang tidak sesuai prosedur.