29.3 C
Jakarta
Thursday, October 23, 2025
spot_img

Satu Tahun Prabowo-Gibran: Minim Proyek Infrastruktur Baru, Fokus pada Fondasi, Pemerataan Ekonomi dan Kemandirian Energi

Petisi Brawijaya Media – Menjelang satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, geliat pembangunan infrastruktur nasional dinilai masih lesu. Minimnya proyek baru menjadi sorotan publik, terutama mengingat besarnya harapan terhadap percepatan pembangunan yang dijanjikan dalam visi Asta Cita.

Fokus pada Fondasi, Bukan Eksekusi Proyek Baru

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dody Hanggodo, menjelaskan bahwa tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran difokuskan pada penguatan fondasi pembangunan. Menurutnya, pemerintah tengah menyusun kerangka kerja dan evaluasi terhadap proyek-proyek warisan pemerintahan sebelumnya, khususnya era Presiden Joko Widodo.

“Capaiannya, sebenarnya tahun pertama ini kan masih fondasi, ya. Fondasi untuk bisa melompat ke tahun ke-2 dan seterusnya dengan lebih cepat lagi,” ujar Dody saat ditemui di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Dody menyebut bahwa evaluasi tersebut mencakup proyek bendungan, jalan tol, dan infrastruktur dasar lainnya yang telah dibangun sebelumnya. Pemerintah ingin memastikan bahwa proyek-proyek tersebut berfungsi optimal sebelum melanjutkan ekspansi.

Meski begitu, setidaknya terdapat dua proyek infrastruktur baru yang diteken di tahun perdana kepemimpinan Prabowo Subianto. Keduanya yakni proyek Sekolah Rakyat yang telah dimulai proses konstruksinya sejak awal tahun hingga satu proyek konektivitas Tol Bogor – Serpong (via Parung).

Untuk proyek Sekolah Rakyat, Direktur Jenderal (Dirjen) Prasarana Strategis Kementerian PU, Bisma Staniarto menjelaskan bahwa pemerintah menyiapkan anggaran Rp20 triliun untuk pelaksanaan pembangunan 100 unit sekolah yang terkontrak tahun jamak (Multiyears Contract/MYC) 2025 – 2026.

Sementara itu, sisanya yakni sebanyak 100 unit Sekolah Rakyat merupakan proyek MYC baru Tahun 2026 – 2027.

Pada tahap Pertama, Kementerian PU telah merenovasi 165 Sekolah Rakyat yang saat ini telah beroperasi, sedangkan saat ini pemerintah memasuki masa konstruksi Sekolah Rakyat Tahap II yang akan dibangun permanen di 104 lokasi.

Saat ini, Sekolah Rakyat Tahap II telah memasuki tahap lelang sejak September 2025. Program ini dirancang untuk menampung hingga 112.320 siswa dengan 3.744 rombongan belajar (rombel), meliputi 1.872 rombel SD (56.160 siswa), 936 rombel SMP (28.080 siswa), dan 936 rombel SMA (28.080 siswa).

Sekolah Rakyat Tahap II akan dibangun secara permanen di atas lahan seluas 5–10 hektare yang disiapkan oleh pemerintah daerah, dan ditargetkan selesai untuk tahun ajaran 2026/2027.

Terbaru, pemerintah juga resmi memulai konstruksi jalan tol baru yakni Tol Serpong – Bogor (via Parung). Di mana, ruas ini menjadi proyek jalan tol perdana yang dibangun pada masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Adapun, konsesi proyek tersebut diganggam oleh PT Bogor Serpong Infra Selaras (BSIS) yang telah melakukan proses penandatanganan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) pada Jumat (3/10/2025).

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PU, Wilan Oktavian menjelaskan bahwa tol ini memiliki nilai investasi mencapai Rp12,3 triliun.

“Dari sisi finansial, investasi dari proyek ini adalah Rp12,351 triliun,” jelasnya.

Tol Bogor – Serpong (via Parung) merupakan salah satu ruas yang tergabung dalam jaringan Jakarta Outer Ring Road (JORR) 3. Di mana, kehadiran tol ini akan memangkas waktu tempuh dari Bogor ke Serpong yang semula mencapai 1 jam lebih menjadi kurang dari 45 menit.

Tol ini akan membentang di dua provinsi Jawa Barat dan Tangerang Selatan. Perinciannya, melewati 14 desa dari 3 kecamatan di Kabupaten Bogor dan melewati 4 desa dari 2 kecamatan di Tangerang.

Sementara itu, proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dipastikan tetap berjalan. Hanya saja, progresnya cenderung melambat di periode awal pemerintahan Prabowo-Gibran.

Pada tahun pertama kepemimpinan Prabowo, belum ada proyek baru di IKN yang direalisasikan. Padahal, beberapa proyek telah memasuki tahap lelang. Beberapa proyek tersebut di antaranya pembangunan Gedung MPR/DPR/DPD RI di IKN, gedung Mahkamah Agung, gedung Mahkamah Konstitusi, gedung Komisi Yudisial hingga Masjid Negara.

Melansir laman resmi PU, hingga 16 Oktober 2025, sebanyak 65 paket konstruksi di IKN telah diselesaikan. Sementara itu, masih ada 24 paket konstruksi yang sedang berjalan prosesnya.

Minimnya Proyek Baru dan Efisiensi Anggaran

Sejumlah pengamat menilai bahwa minimnya proyek infrastruktur baru juga dipengaruhi oleh kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan sejak awal masa jabatan. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang terbit pada 22 Januari 2025, menjadi landasan efisiensi fiskal, yang berdampak pada penundaan beberapa proyek besar.

Pemerintah menargetkan efisiensi anggaran dapat menghemat anggaran negara sebesar Rp 306,69 triliun yang terdiri dari Rp 256,10 triliun anggaran belanja kementerian dan lembaga serta Rp 50,59 triliun transfer ke daerah (TKD).

Meski efisiensi dianggap penting, beberapa pihak menyarankan agar pemerintah segera menetapkan arah baru agar pembangunan tidak stagnan. Terlebih, efisiensi anggaran yang terlalu ketat justru memiliki multiplier effect yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

“Efisiensi yang dilakukan di awal memang seperti mengencangkan ikat pinggang dengan penghematan dimana-mana. Namun hasilnya adalah perekonomian jadi berjalan lambat,” ujarnya Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda, pada Kamis (16/10/2025).

“Banyak sektor yang terkena dampak negatif dari efisiensi, termasuk perhotelan yang melakukan PHK juga ke karyawannya. Akibatnya, perekonomian menjadi jalan lebih lambat,” sambungnya.

Kemudian seiring dengan pergantian Menteri Keuangan menjadi Purbaya Yudhi Sadewa, terjadi pergeseran makna efisiensi.

Pemerintah cenderung melakukan efisiensi anggaran dengan mengalihkan anggaran belanja kementerian dan lembaga yang tidak terserap optimal untuk dialokasikan ke belanja prioritas lainnya.

Dengan kebijakan efisiensi seperti saat ini, setiap sen rupiah dari APBN justru dapat dimanfaatkan secara optimal agar memberikan dampak positif kepada masyarakat luas.

“Belanja yang tepat, bisa menimbulkan multiplier terhadap perekonomian. Ini yang perlu dilakukan ketika sektor swasta lagi bermasalah,” ucapnya.

Pemerataan Ekonomi dari Desa

Di sisi lain, pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan komitmen terhadap pembangunan desa sebagai poros utama pemerataan ekonomi.

Menteri Desa Yandri Susanto menyebut bahwa program “12 Aksi Bangun Desa, Bangun Indonesia” telah menjadi arah strategis pembangunan selama satu tahun terakhir.

Langkah ini sejalan dengan Asta Cita keenam, yaitu membangun dari desa dan dari bawah untuk pengentasan kemiskinan. Meski bukan proyek infrastruktur berskala besar, pembangunan desa dinilai sebagai fondasi penting dalam transformasi sosial-ekonomi.

‘Sejak dilantik pada 21 Oktober 2024, kami tahu betul bahwa bapak presiden sangat konsen terhadap pembangunan desa. Itu dibuktikan melalui Asta Cita keenam, yaitu membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan,” ujar Yandri Susanto, di Jakarta, Jumat (16/10/2025).

Salah satu yang menunjukkan hasil nyata, adalah penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Kini banyak BUMDes yang tumbuh signifikan dan bahkan menembus pasar ekspor.

Selain pengembangan desa ekspor, Kementerian Desa juga mendorong lahirnya ribuan desa wisata yang menjadi bagian dari strategi Asta Cita keenam untuk memperkuat ekonomi masyarakat di akar rumput.

“Intinya, pemerataan ekonomi sekaligus pemerataan pengurangan kemiskinan dimulai dari desa. Desa harus menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia,” jelasnya.

Energi dan Hilirisasi Jadi Sorotan

Selain infrastruktur fisik, pemerintahan Prabowo-Gibran juga menandai capaian di sektor energi. Program hilirisasi dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) menjadi prioritas, dengan dukungan dari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.

Proyek seperti Renewable Energy Integration Demonstrator Indonesia (REIDI) menunjukkan langkah konkret menuju kemandirian energi nasional, meski belum sepenuhnya berdampak pada pembangunan infrastruktur fisik.

Koordinator Proyek REIDI dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Ary Bachtiar Krishna Putra, menyebut langkah pemerintah dalam memperluas pemanfaatan EBT sudah berada di jalur yang tepat.

“Ini sudah saatnya Indonesia tidak lagi hanya bicara, tapi melangkah nyata menuju kemandirian energi. Program seperti REIDI menunjukkan bagaimana universitas, industri, dan pemerintah bisa bekerja bersama dalam membangun ekosistem energi yang efisien dan berkelanjutan,” ujarnya dalam diskusi “Meneropong Satu Tahun Kemandirian Energi Nasional Era Prabowo-Gibran dari Timur Jawa” di Surabaya, Rabu (15/10/2025).

Di sisi lain, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair), Falih Suaedi, menilai langkah pemerintah menempatkan isu energi sebagai prioritas nasional yang tertuang dalam Asta Cita adalah keputusan yang strategis.

“Pemerintah saat ini tidak hanya bicara soal penyediaan energi, tapi juga kemandirian dalam mengelola. Itu artinya, negara sedang mengarah pada ketahanan energi yang sesungguhnya. Dalam satu tahun ini terlihat jelas bagaimana pemerintah berusaha membangun integrasi kebijakan energi dari pusat sampai daerah. Ini bukan hal mudah, tapi langkahnya sudah terlihat,” ujar Falih.

Para akademisi pun sepakat capaian ini menjadi fondasi kuat bagi keberlanjutan pembangunan energi nasional di tahun-tahun berikutnya. Pemerintah menegaskan bahwa agenda swasembada energi bukan sekadar target jangka pendek, tetapi visi jangka panjang menuju Indonesia sebagai negara maju dan mandiri energi.

Untuk diketahui, pemerintah sendiri telah meresmikan 55 proyek energi baru terbarukan (EBT) pada Juni 2025, yang mencakup tiga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan 47 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Proyek-proyek ini termasuk inisiatif listrik pedesaan PLN di berbagai wilayah Indonesia, dengan total kapasitas terpasang mencapai 379,7 MW.

Tak hanya fokus pada energi hijau, pemerintah juga memberi perhatian pada peningkatan produksi migas. Pemerintah memasang target lifting migas untuk tahun 2025 adalah 605 ribu barel minyak per hari (bph) dan 5.628 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) untuk gas bumi. Hingga Juni 2025, realisasi lifting minyak sudah mencapai 608.000 bph atau telah melampaui target, sementara realisasi gas bumi masih sebesar 5.483 MMSCFD.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

1,459FollowersFollow
7,451FollowersFollow
7,700SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles