Petisi Brawijaya Media – Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau yang dikenal sebagai Whoosh kembali menjadi sorotan, kali ini dari media internasional.
The Business Times, media asal Singapura, menyebut utang jumbo yang membiayai proyek ini sebagai “bom waktu fiskal” bagi Indonesia.
Dalam artikel bertajuk Two-year-old China-funded bullet train is fast becoming a fiscal time bomb for Indonesia, media tersebut mengulas kerugian besar dan tekanan keuangan yang dihadapi pemerintah serta BUMN terkait.
Utang Membengkak, Kerugian Meningkat
Business Times juga menyoroti masalah utang jumbo proyek tersebut. Sepanjang tahun 2024, KCJB mencatat kerugian sebesar Rp4,2 triliun, ditambah Rp1,24 triliun pada semester I 2025. Beban utang proyek ini mencapai Rp116 triliun, sebagian besar berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB), termasuk tambahan US$1,2 miliar untuk menutup pembengkakan biaya (cost overrun).
Proyek ini dijalankan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), perusahaan patungan antara konsorsium BUMN Indonesia melalui Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium China Beijing Yawan HSR. Sekitar 75% biaya proyek ditopang oleh pinjaman CDB, dengan bunga 3,5-4%, sisanya berasal dari ekuitas pemegang saham. Jika dihitung, beban bunganya saja per tahun bisa menembus Rp 2 triliun.
Siapa yang tak pusing menanggung utang sebanyak itu. Inilah yang dikeluhkan oleh Bobby Rasyidin, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, ketika rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada 20 Agustus lalu.
KAI menjadi pihak yang paling terbebani karena berstatus sebagai pemegang saham terbesar (58,53 persen) PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia atau PSBI. PSBI adalah pemegang 60 persen saham PT Kereta Cepat Indonesia China, operator Whoosh.
Bahkan sejak diluncurkan pada Oktober 2023, jumlah penumpang Whoosh baru mencapai sekitar 10 juta hingga pertengahan 2025, jauh di bawah target 31 juta per tahun. Tingkat keterisian kereta hanya 70–80% pada hari biasa, dan baru mendekati penuh saat libur panjang.
Agar biaya operasinya bisa impas saja, moda angkutan canggih itu harus terisi minimal oleh 38 ribu orang per hari. Itu pun dengan asumsi harga tiket Rp 250 ribu hingga Rp 650 ribu.
Namun pada kenyataannya, jangankan 30 ribu penumpang sehari. Rekor yang pernah dicapai Whoosh “hanya” 25 ribu penumpang pada momen liburan tertentu. Pada hari biasa, kemungkinan di bawah 10 ribu orang per hari.
Tanpa subsidi pemerintah, harga tiket Whoosh jauh lebih mahal dibandingkan kereta konvensional, membuatnya kurang menarik bagi masyarakat berpenghasilan menengah.
Karena status tersebut, setiap tahun KAI membukukan kerugian akibat proyek Whoosh. Sebagai gambaran, pada 2024 nilai kerugian KAI dari Whoosh sebesar Rp 2,239 triliun, sedangkan pada semester I 2025 nilainya Rp 1,246 triliun.
KAI juga terpaksa menyisihkan dana lewat skema sinking fund yang nilainya Rp 1,455 triliun tahun lalu. Dana ini bisa ditarik sewaktu-waktu apabila proyek Whoosh membutuhkan bantuan. Sebagai contoh, ada penarikan dana Rp 672 miliar tahun lalu dan pada semester I 2025 dana yang ditarik mencapai Rp 349 miliar.
Dengan aset yang dikelola oleh Danantara, awalnya muncul harapan utang Whoosh bisa dikelola, setidaknya direstrukturisasi agar lebih ringan. Tapi saking nilainya terlalu besar, Danantara pun bisa kewalahan.
CEO Danantara, Rosan Roeslani, menyatakan bahwa pemerintah tengah melakukan negosiasi intensif dengan China untuk merestrukturisasi utang proyek Whoosh.
Ia menekankan bahwa reformasi menyeluruh lebih penting daripada sekadar restrukturisasi jangka pendek.
“Kami ingin reformasi secara komprehensif agar ke depan tidak lagi muncul kemungkinan seperti default dan persoalan lainnya,” tegas Rosan.
Rosan juga menyebut bahwa jika proyek kereta cepat diperluas hingga Surabaya, struktur pembiayaannya harus benar-benar berkelanjutan.
Disisi lain, Zulfikar Rakhmat, dari Center for Economic and Law Studies (Celios) menyebut proyek ini sebagai ujian besar bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Ia memperingatkan bahwa jika tidak segera diatasi, dampaknya bisa merembet ke keuangan publik, kinerja BUMN, dan kepercayaan investor.
“Tantangan utamanya adalah bagaimana menahan laju utang sebelum berubah menjadi jebakan fiskal yang lebih luas,” ujar Zulfikar.
Sorotan media asing terhadap utang Kereta Cepat Whoosh menjadi pengingat bahwa proyek infrastruktur besar harus dirancang dengan proyeksi realistis dan skema pembiayaan yang sehat. Pemerintah kini dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga stabilitas fiskal sambil mempertahankan ambisi modernisasi transportasi.