Petisi Brawijaya Media – Pengamat politik, Guntur Siregar, menyampaikan harapan agar Presiden Prabowo Subianto bersikap tegas dan tidak melindungi dugaan kejahatan pemalsuan ijazah yang menyeret nama Presiden sebelumnya, Joko Widodo, dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara eksklusif dengan KBA News, pada Senin 6 Oktober 2025, menyusul pertemuan antara Presiden Prabowo dan Jokowi di rumah pribadi Prabowo di Jalan Kertanegara, Jaksel, Sabtu, 4 Oktober lalu.
Pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam tersebut diduga membahas banyak hal, termasuk di antaranya perlindungan agar dia dan anaknya tidak dibawa ke pengadilan karena dugaan menggunakan ijazah palsu dalam proses pemilihan pejabat publik.
“Ini dugaan saya yang membuat Jokowi menemui Presiden prabowo di kediaman Kartanegara. Jokowi salah hitung soal ijazah ini. Dia anggap sepele sewaktu memegang kekuasaan. Dia anggap remeh sosok seorang Bambang Tri,” ujar Guntur seperti dilansir dari KBA News, pada Rabu, (8/10/2025).
Adapun isu pemalsuan ijazah Jokowi telah menjadi perdebatan publik sejak beberapa tahun terakhir. Sejumlah aktivis dan akademisi mempertanyakan keabsahan ijazah yang digunakan Jokowi saat mendaftar sebagai calon presiden.
Meski pihak Istana telah membantah tuduhan tersebut, laporan hukum dan gugatan ke pengadilan nyatanya hingga kini tetap bergulir.
Dugaan Jokowi menggunakan ijazah palsu itu pertama kali diungkapkan oleh Bambang Tri Mulyono yang mengarang buku Jokowi Undercover yang membukti bahwa semua ijazah Jokowi dari SD sampai perguruan tinggi adalah palsu. Jokowi marah dan menangkapnya. Dalam proses di PN Solo, dia terbukti mencemarkan nama baik Jokowi dan dihukum dua kali, yaitu 4 tahun dan 6 tahun penjara. Tetapi pengadilan itu cacat karena jaksa tidak pernah sekalipun menunjukkan ijazah asli Jokowi.
Kesaksian bahwa ijazah Jokowi palsu juga diungkapkan oleh Roy Suryo, Rismon Sianipar dan Tifauziyah Tyassuma yang sudah melakukan penelitian mendalam dan bersaksi bahwa ijazah itu palsu. Mereka menghubungi berbagai pihak dan narasumber untuk membuktikan bahwa ijazah kedua anak-bapak memang perlu diragukan keaslian.
Jokowi diduga menggunakan ijazah S-1 palsu sewaktu mencukupi syarat untuk pemilihan Walikota Solo (2005 dan 2010), pemilihan Gubernur DKI Jakarta (2012) dan Pilpres (2014 dan 2019).
Sedangkan Gibran diduga menggunakan ijazah palsu untuk mengikuti proses pemilihan walikota Solo (2021) dan Pilpres (2024) sebagai Cawapres mendampingi Prabowo subianto sebagai Capres.
Gibran, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden, juga sempat disorot terkait proses pencalonannya yang dinilai kontroversial karena melibatkan putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi pencalonan usia muda.
“Mereka dengan tidak malu-malu menggunakan identitas palsu untuk ikut pemilihan dalam rangka menipu mengambil hati rakyat,” kata mantan Sekjen Pro Jokowi (Projo) yang mendukung Jokowi sebagai Presiden di Pilpres 2014.
Perkembangan terbaru kasus ini adalah Roy Suryo dan kawan-kawan sudah mendapatkan ijazah sarjana (S-1) kehutanan UGM yang dipergunakan Jokowi sewaktu melengkapi persyaratan menjadi Capres di Pilpres 2019.
Pihak KPU Pusat dengan sukarela memberikan akses bagi Roy dan kawan-kawan untuk melihat dan mendapatkan salinan fotokopi ijazah tersebut. Dengan data terbaru dari KPU itu mereka semakin yakin bahwa ijazah itu palsu.
Terbukanya akses di KPU itu setelah sebelumnya mereka menolak memberikan dengan alasan berlindung kepada kerahasiaan pribadi, bahkan sempat membuat Keputusan KPU bahwa data para Capres tidak boleh dipublikasi, menunjukkan bahwa mereka tidak kuasa melawan kehendak masyarakat yang mendesak akses itu dibuka. KPU sendiri tidak berdaya. Keputusan KPU yang baru berumur beberapa hari itu terpaksa dicabut.
Menurut mantan aktivis GMNI DKI Jakarta itu, perubahan sikap KPU tersebut tidak bisa dibaca selain bahwa pemerintahan Prabowo tidak lagi keukeuh untuk melindungi Jokowi dan Gibran. Sebagai lembaga negara di bawah Presiden, mereka tentunya tidak berani melawan Presiden. Mereka akan tegak lurus dengan kehendak pimpinan tertinggi negara.
“Jokowi sudah kehabisan cara dan akal bagaimana mengatasi isu ijazah yang menimpa dirinya dan putra dinastinya Gibran Rakabuming Raka. Karena fakta dan data yang selama ini coba ditutupi akhirnya terbongkar juga. Dan ini sangat fatal buat Jokowi dan putranya. Ini penipuan publik yang tidak bisa ditoleransi,” kata Guntur.
Lebih lanjut Guntur menegaskan bahwa pemalsuan ijazah merupakan kejahatan serius yang tidak boleh ditoleransi, apalagi jika dilakukan oleh atau melibatkan pejabat publik. Ia menyebut bahwa Prabowo, sebagai pemimpin baru, memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Jika benar ada pemalsuan ijazah, maka itu adalah kejahatan yang harus diproses secara hukum. Prabowo tidak boleh melindungi siapa pun, termasuk Jokowi dan Gibran,” ujar Guntur.
Menurutnya, pembiaran terhadap dugaan pelanggaran hukum akan merusak kredibilitas pemerintahan Prabowo dan mengkhianati semangat reformasi serta demokrasi yang telah dibangun sejak 1998.
Guntur Siregar menekankan bahwa Prabowo memiliki kesempatan untuk menunjukkan integritasnya sebagai pemimpin yang berpihak pada kebenaran dan keadilan. Ia menyarankan agar Prabowo membentuk tim independen untuk menyelidiki dugaan pemalsuan ijazah secara transparan.
“Ini bukan soal balas dendam politik, tapi soal penegakan hukum. Jika Prabowo ingin dikenang sebagai pemimpin yang adil, maka ia harus berani mengambil sikap,” tegas Guntur.
Guntur mengatakan bahwa publik pasti mendesak supaya Jokowi diadili dan masuk penjara serta sang putra dimakzulkan dari kursi Wapres. Ia juga menilai bahwa Jokowi adalah presiden yang sudah menjadi kecelakaan sejarah kelam bangsa ini.
“Ini bisa menjadi musuh bersama rakyat Indonesia apabila ada putusan hukum Jokowi terbukti palsukan ijazahnya dan Gibran putranya ternyata tidak tamat SMA,” pungkas Guntur Siregar.