Petisi Brawijaya Media – Rismon Sianipar, ahli digital forensik yang menjadi salah satu pelapor dalam kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo, menyatakan bahwa tujuannya bukan untuk memenjarakan mantan Presiden RI ke-7 tersebut.
Dalam wawancara di program Zoomcast KompasTV, pada Jumat (10/10/2025), Rismon menegaskan bahwa langkahnya bertujuan untuk meluruskan sejarah dan membuka ruang klarifikasi publik secara ilmiah.
“Dari keterangan-keterangan, dari bukti-bukti yang kami dapatkan, ditambah dengan kajian ilmiah yang sudah saya tulis sejak Maret 2025, maka kami sangat yakin bahwa yang kami inginkan bukan memenjarakan Pak Jokowi, tetapi meluruskan sejarah bangsa,” ujar Rismon, seperti dilansir dari Zoomcast KompasTV, dikutip pada Senin, (13/10/2025).
Rismon mengaku telah menyusun kajian ilmiah secara bertahap yang mendasari laporan hukum terhadap Presiden Jokowi. Ia juga menyebut telah melakukan wawancara langsung dengan sejumlah saksi, termasuk dosen UGM bernama Kasmujo, yang disebut dalam narasi akademik Jokowi.
Menurut Rismon, terdapat ketidaksesuaian antara pernyataan Jokowi dalam video reuni Fakultas Kehutanan UGM tahun 2017 dan klarifikasi yang muncul delapan tahun kemudian. Dalam video tersebut, Jokowi mengucapkan terima kasih kepada Kasmujo atas bimbingan skripsinya. Namun, belakangan Kasmujo membantah sebagai dosen pembimbing skripsi, dan menyatakan hanya sebagai pembimbing akademik.
Rismon menyebut bahwa laporan yang ia ajukan ke Polda DIY bukan semata soal keaslian ijazah, tetapi juga terkait dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks. Ia menilai bahwa inkonsistensi narasi akademik Jokowi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, dan perlu ditelusuri lebih lanjut.
“Kami putuskan untuk melaporkan hal tersebut di Polda DIY karena locus delicti-nya terjadi di UGM,” jelas Rismon.
Dalam pernyataannya, Rismon menolak anggapan bahwa langkahnya bertujuan menjatuhkan atau mengkriminalisasi Jokowi.
Ia menekankan bahwa sebagai peneliti, ia memiliki hak untuk mengkaji dan menguji keabsahan dokumen publik, termasuk ijazah tokoh negara.
“Basis kami adalah ilmiah. Kami tidak punya niat buruk. Ini bukan soal politik, tapi soal integritas sejarah,” tegasnya.